Nguter
Nguter merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Sukoharjo yang dikenal sebagai sentra jamu. Di Kecamatan Nguter, terdapat beberapa desa, yakni Juron, Lawu, Nguter, Kedungwinong, Tanjungrejo, Tanjung, Baran, Daleman, Pengkol, Plesan, Kepuh, Gupit, Pondok, Serut, dan Celep. Hampir setiap desa di Kecamatan Nguter ada masyarakatnya yang memiliki mata pencaharian sebagai penjual jamu.
Khusus di Desa Nguter sendiri, jamu sudah dikenal sejak tahun 1965. Daerah ini memiliki potensi pembuat jamu tradisional. Ari Prasetyo (2018) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa pada tahun 1984, di Desa Nguter sudah terdapat 35 industri rumah tangga yang bergerak di bidang poduksi jamu tradisional dengan jumlah pekerja sekitar 49 orang. Satu tahun berikutnya, jumlah industri meningkat menjadi 36 rumah industri dengan total jumlah pekerja 52 orang (Data BPS Sukoharjo tahun 1987). Tahun 2012, tercatat di Desa Nguter terdapat 1000 orang yang bekerja sebagai pembuat jamu. Bahkan telah banyak warganya yang merantau untuk menjajakan jamu di kota lain. Pada tanggal 23 November 2012 Desa Nguter dinobatkan sebagai kampung jamu. Penobatan dilakukan oleh Drs. Maura Linda Sitanggang yang saat itu mewakili Menteri Kesehatan RI untuk melaunching “Nguter Kampung Jamu”.
Warga Desa Nguter secara turun temurun mewarisi resep membuat jamu tradisional. Seiring perkembangan zaman, industri jamu di Nguter pun turut berkembang. Saat ini terdapat ratusan warga yang masih eksis menjual jamu tradisional. Mereka tidak hanya warga Desa Nguter tetapi juga warga dari desa lain seperti Kepuh, Dukuh, dan Daleman. Cara berjualannya pun sudah mengalami perkembangan yakni dengan dijajakan keliling memakai sepeda atau sepeda motor. Selain itu, di Nguter juga terdapat industri jamu skala pabrik yang sudah terkenal. Pabrik jamu tersebut yakni jamu sabdo palon, jamu anoman, jamu wisnu, jamu bisma sehat, dan jamu gujati 59.
Produk jamu dari industri jamu di Nguter selain di pasarkan ke berbagai wilayah di Indonesia, juga dijual di pasar Nguter yang juga telah diresmikan sebagai pasar jamu. Dulunya, pasar Nguter ini merupakan pasar tradisional seperti pada umumnya yang menjual berbagai kebutuhan rumah tangga, tetapi karena mayoritas produk yang dijual adalah jamu, maka pada tahun 2015 pasar Nguter diresmikan sebagai pasar jamu seiring dengan selesainya revitalisasi di sejumlah titik pasar. Pasar jamu yang terletak di jalan raya Solo-Wonogiri ini menjadi penanda adanya desa jamu di perbatasan Sukoharjo. Ada ratusan pedagang yang membuka kios di pasar jamu Nguter. Mereka menjual jamu kemasan, bahan-bahan untuk membuat jamu, hingga perlengkapan jamu.
Keberadaan pasar jamu di Nguter membentuk rantai ekonomi karena hampir seluruh produsen jamu di Nguter mengambil bahan rempah dari petani Wonogiri. Bahan seperti kunyit, jahe, kencur temulawak dll didatangkan ke pasar jamu atau langsung ke produsen jamu untuk kemudian diolah menjadi jamu segar, jamu kemasan, atau dijual mentah di pasar jamu. Para penjual juga sudah mengikuti perkembangan zaman dengan ikut memasarkan produk jamu melalui pasar online agar lebih mudah diakses oleh pembeli.
Sejarah Desa Nguter
Sejarah Desa Nguter dapat ditelusuri melalui para sesepuh yang saat ini masih hidup. Seperti halnya folklore atau cerita lisan pada umumnya, ada beberapa versi cerita yang berkembang di masyarakat. Perbedaan ini dikarenakan penuturan secara lisan akan rentan terhadap penambahan, pengurangan, improvisasi, atau kesalahpahaman penerimaan makna cerita dari penutur kepada mitra tutur. Dua sumber yang berbeda menunjukkan ada dua cerita yang berbeda mengenai sejarah Nguter tetapi memiliki inti dan kesimpulan yang hampir sama.
Cerita pertama menunjukkan bahwa penamaan Desa Nguter dimulai pada masa penjajahan Belanda. Pada saat itu, Pangeran Samber Nyawa (Raden Mas Said) melarikan diri dari Keraton Surakarta menuju ke arah selatan (Sukoharjo). Sesampainya di sebelah selatan Sukoharjo ia merasa ragu-ragu karena di depannya terbentang hutan yang sangat lebat. Ia berhenti sebentar untuk istirahat kemudian menyebut atau memberi nama dusun tersebut dengan nama Songgorunggi. Raden Mas Said melanjutkan perjalanan, sesampainya di tengah jalan terbentang sungai yang luas dan dangkal. Raden Mas Said kembali ragu-ragu (mangu-mangu), ia kemudian berputar atau berbelok dan menamakan tempat itu menjadi Desa Nguter (dari kata mangu-mangu dan muter–muter).
Cerita kedua menyebutkan bahwa pada zaman dahulu, ada rombongan bangsawan dari Keraton Solo yang hendak mencari tanah di Sukoharjo. Pada zaman itu, para bangsawan Keraton ingin mencari tanah untuk menambah aset di wilayah Sukoharjo dan Wonogiri. Mereka berjalan sepanjang hari menuju arah selatan atau Sukoharjo untuk mendapatkan tanah yang kondisinya subur. Di tengah perjalanan, para bangsawan merasa lelah dan memutuskan untuk beristirahat di pinggir jalan. Mereka melihat beberapa pohon kelapa yang menjulang tinggi. Mereka ingin memetik buahnya tetapi tidak berani memanjatnya.
Kebetulan saat itu seorang Kyai bernama Sabuk Alu melewati daerah tersebut dan berpapasan dengan para bangsawan yang sedang beristirahat. Kyai Sabuk Alu dikenal sebagai orang sakti di wilayah tersebut. Para bangsawan meminta tolong Kyai Sabuk Alu untuk mengambilkan kelapa. Karena kesaktiannya, Kyai Sabuk Alu hanya memegang batang kelapa kemudian pohon tersebut melengkung hingga nyaris menyentuh tanah. Para bangsawan memetik dan meminumnya dengan mudah. Sementara itu Kyai Sabuk Alu langsung pergi meninggalkan para bangsawan.
Para bangsawan kembali melanjutkan perjalanan untuk mencari tanah. Mereka berjalan kaki sembari melihat kondisi tanah yang mereka lewati hingga menemukan aliran sungai yang cukup besar. Sungai itu membelah wilayah Sukoharjo bagian selatan. Para bangsawan keraton memutuskan untuk memutar arah mengeilingi aliran sungai. Mereka muter (berputar) mengelilingi sungai. Warga setempat langsung memberi nama wilayah tersebut dengan nama Nguter.